Senin, 26 Juli 2010

Konsep-konsep Dasar Fonologi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Konsekuensi logis dari anggapan bahkan keyakinan ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun ( fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata dalam kalimat, semantik pada persoalan makna kata, dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang konsep-konsep dasar fonologi yang memfokuskan pada persoalan bunyi dan yang berkaitan dengannya.
Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengetahui perbedaan fonetik dan fonemik, perbedaan fon dan fonem, dan perbedaan transkipsi fonetis dan fonemis. Maka, dengan ini penulis mengambil judul “Konsep-Konsep Dasar Fonologi” untuk makalah ini
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah fonologi serta mengetahui lebih dalam tentang konsep-konsep dasar fonologi.

1.2 Batasan Masalah
Agar masalah penelitian lebih fokus kepada tujuan penelitian dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah penelitian hanya pada ruang lingkup tentang “Konsep-Konsep Dasar Fonologi”.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa perbedaan fonetik dan fonemik?
2. Apa perbedaan fon dan fonem?
3. Apa perbedaan transkipsi fonetis dan fonemis?

1.4 Tujuan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, serta batasan maslah yang diajukan diatas maka secara umum penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan perbedaan fonetik dan fonemik.
2. Untuk menjelaskan perbedaan fon an fonem.
3. Untuk menjelaskan perbedaan transkipsi fonetis dan fonemis.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Fonologi terbentuk dari kata fon = bunyi dan logi = ilmu. Menurut Hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi :
1. Fonetik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
2. Fonemik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tesebut sebagai pembeda.

2.2 Pengertian Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut terjadinya bunyi bahasa, fonetik dibedakan menjadi :
1. Fonetik Artikularis/Fonetik Organis / Fonetik Fisiologis Mempelajari bagaimana alat-alat bicara manusia bekerja dalam bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
2. Fonetik Akustik Mempelajari bunyi bahasa sebagai gelombang bunyi, melalui alat khusus. Misalnya spektograf bunyi untuk mempelajari ciri-ciri gelombang bahasa melalui gambar-gambar yang menunjukkan ciri frekuensi, intensitas, dan waktu dari bunyi bahasa tertentu.
3. Fonetik Auditoris Mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Atau menyelidiki bunyi bahasa sebagai sesuatu yang diterima oleh pendengar. Misalnya, apabila diteliti dengan alat-alat tertentu apabila diteliti dengan alat-alat tertentu dapatlah diketahui bagaimana kedudukan lidah ketika bertutur peranan yang dimainkan langit-langit lembut ketika menyebutkan bunyi-bunyi sengau seperti [m], [n], [ň] dan [η] peranan yang dimainkan pita suara ketika menyebutkan bunyi bersuara [b], [d], [g], [v] dan bunyi tidak bersuara [p], [t], [k], [f] dan sebagainya.
2.3 Pengertian Fonemik
Fonemik merupakan bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.

2.4 Pengertian Fon
Fon atau Bunyi bahasa (bahasa Inggris: speech sound) merupakan satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap. Dalam fonologi, bunyi bahasa diamati sebagai fonem.

2.5 Pengertian Fonem
Fonem merupakan kesatuan bunyi terkecil yang berfungsi sebagai pembeda makna atau satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna.
Di dalam bahasa Indonesia dijumpai bentuk linguistik [palaη] ‘palang’. Bentuk ini bisa dipisah menjadi lima bentuk linguistik yang lebih kecil, yaitu [p], [a], [l], dan [η] Kelima bentuk linguistik ini (masing masing) tidak mempunyai makna. Jika salah satu bentuk linguistik terkecil tersebut (misal [p]) diganti dengan bentuk linguistik terkecil lain (misal diganti [k], [t], [j], [m], [d]) maka makna bentuk linguistik yang lebih besar, yaitu [palaη] akan berubah
[kalaη] ‘sangga’ [malaη] ‘celaka’
[talaη] ‘sejenis ikan’ [dalaη] ‘dalang’
[jalaη] ‘liar’ [galaη] ‘galang’.

2.6 Perbedaan Fonetik dan Fonemik
Fonetik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Fonemik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tesebut sebagai pembeda.

2.7 Perbedaan Fon dan Fonem
Fon adalah objek penelitian dari fonetik, yaitu bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia pada umumnya tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna kata atau tidak.
Dan fonem adalah objek penelitian dari fonemik, yaitu kesatuan bunyi terkecil yang berfungsi sebagai pembeda makna atau satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna.
Kalau dalam fonetik, misalnya, kita meneliti bunyi-bunyi [a] yang berbeda pada kata-kata lancar, laba, dan lain; atau pada perbedaan bunyi [i] seperti yang terdapat pada kata-kata ini, intan, dan pahit; maka dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita sebut fonem, dan jika tidak membedakan makna adalah bukan fonem.

2.8 Perbedaan Transkripsi Fonemis dan Transkripsi Fonetis
Transkripsi adalah pengubahan wacana menjadi bentuk tertulis, biasanya dengan menggambarkan tiap bunyi/fonem dengan satu lambang. Ada juga yang mendefinisikan suatu cara pengalihan bentuk bunyi di dalam abjad fonetis (Soeparno, 2002). Selain ada juga yang mendefinisikan bahwa transkripsi adalah tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan: lafal bunyi, fonem, morfem, atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlaku dalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya (Marsono, 1993).
Tujuannya untuk mencatat setepat mungkin semua ciri dari ucapan atau seperangkat ucapan yang dapat didengar dan dikenal oleh penulis di dalam arus ujar. Selain itu transkripsi juga digunakan untuk mengetahui perbedaan yang halus dari beberapa ucapan dialek-dialek (Samsuri, 1974).
Ada dua macam transkripsi, yakni transkripsi fonetis dan transkripsi fonemis.
1. Transkripsi Fonemis
Transkripsi fonemis adalah transkripsi yang menggunakan 1 lambang untuk menggambarkan 1 fonem, baik yang membedakan arti maupun yang tidak tanpa melihat perbedaan fonetisnya. Simbol fonetiknya dituliskan di antara dua garis miring.
Misalnya : penulisan /malam/ dan /macam/ yang hanya menggambarkan fonem-fonem yang ada.
2. Transkripsi Fonetis
Transkripsi Fonetis adalah transkripsi yang berusaha menggambarkan semua bunyi secara sangat teliti. Simbol fonetiknya dituliskan di antara dua kurung siku tegak.
Misalnya : kata pinggul menjadi [piŋgUl] yang menimbulkan artikulasi-artikulasi baru.
Daftar lambang-lambang fonetik
Lambang Fonetis Alfabet Latin Contoh
a Sama dengan huruf a [pa+rah] ‘parah’, [sa+ka] ‘saka’
i Sama dengan huruf i [bi+sa] ‘bisa’, [sa+dis] ‘sadis’
ī Sama dengan huruf i bertilde [so+pīr] ‘sopir’, [ta+bīb] ‘tabib’
ʔ Sama dengan tanda tanya [baʔ+so] ‘bakso’, [a+jaʔ] ‘ajak’
O Seperti huruf o kapital [tO+kOh] ‘tokoh’, [bO+rOs] ‘boros’
ə Sama dengan huruf e terbalik [kə+ra] ‘kera’, [ma+rət] ‘maret’
e Sama dengan huruf e [sa+te] ‘sate’, [so+re] ‘sore’
ε Seperti huruf e kapital [pεn+dεk] ‘pendek’, [ka+rε] ‘karet’
γ Huruf x bergelung ke bawah [ba+liγ] ‘baligh’, [maγ+rib] ‘maghrib’
U Sama dengan huruf u kapital [ba+tUk] ‘batuk’, [ka+pUr] ‘kapur’
ŋ Huruf n berekor [pu+laŋ] ‘pulang’, [haŋ+at] ‘hangat’





Perbedaan ejaan fonetis dan fonemis
No. Ejaan Fonetis Ejaan Fonemis
1. [piŋUl] /pinggul/
2. [bεbεʔ]
/bebek/
3. [pOjOʔ]
/pojok/
4. [warUŋ] /warung/
5. [ñañi] /nyanyi/

Dari kedua definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perbedaan dari kedua transkripsi tersebut terletak pada ejaannya. Ejaan fonemis hanya menggambarkan fonem-fonem yang ada, sedangkan ejaan fonetis akan menimbulkan artikulasi-artikulasi baru yang timbul dari ejaan fonetisnya.


















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Penyusunan makalah ini adalah sarana informasi dan solusi dalam menyikapi mata kuliah

Analisis Lagu Bunga Citra Lestari

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Yang disebut membaca ide atau reading for ideas adalah sejenis kegiatan membaca yang ingin mencari, memperoleh, serta memanfaatkan ide-ide yang terdapat pada bacaan. Dalam hal ini ada suatu prinsip yang harus diingat selalu, yaitu bahwa suatu sumber yang kaya akan ide-ide merupakan dasar bagi komunikasi dan bahwa anak-anak (dan kita juga) cenderung berbicara dan menulis dengan baik kalau mereka penuh dengan ide-ide. Kita harus sadar, bahwa sepanjang kehidupan banyak informasi yang kita manfaatkan berasal dari bacaan. Bagi banyak orang, Koran dan penerbitan-penerbitan berkala merupakan sumber utama. Orang lain membaca buku-buku saku yang mereka beli di pasar. Sedangkan yang lainnya memasuki suatu perkumpulan yang mengirim satu atau lebih buku setiap bulan. Perpustakaan umum dan perpustakaan keliling juga merupakan sumber bagi sekelompok orang. Semua bahan bacaan ini merupakan sumber topic-topik bagi diskusi, percakapan, penuturan cerita, penjelasan, laporan, serta kegiatan-kegiatan lisan dan tulisan lainnya. Sumber, bahan, atau saluran bagi komunikasi berikutnya dan mendatang, merupakan fungsi utama membaca (Dawson{et al} ; 1963 : 80).
Atau lebih terperinci lagi, apabila kita membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan suatu judul atau topik yang baik, masalah apa yang terdapat dalam cerita itu, apa yang dipelajari oleh sang tokoh dan merangkumkan apa yang dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai maksudnya, maka kegiatan serupa itu disebut reading for main ideas atau membaca untuk mencari ide-ide penting (Anderson, 1972 : 214)

B. Batasan Masalah
Agar masalah penelitian lebih fokus kepada tujuan penelitian dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah penelitian hanya pada ruang lingkup tentang “Menganalisis Lirik Lagu Dengan Menggunakan Metode Membaca Ide”

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa manfaat dari membaca ide dari lagu Saat Kau Pergi by Bunga Citra Lestari?
2. Apa manfaat dari membaca ide dari lagu Mengapa Harus Terjadi by Bunga Citra Lestari?

D. Tujuan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, serta batasan masalah yang diajukan diatas maka secara umum penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan manfaat membaca ide lagu dari Bunga Citra Lestari berjudul Saat Kau Pergi.
2. Untuk menjelaskan manfaat membaca ide lagu dari Bunga Citra Lestari berjudul Mengapa Harus Terjadi.

























BAB II
PEMBAHASAN

A. Manfaat dari Membaca Ide pada Lagu Saat Kau Pergi dari Bunga Citra Lestari

Lirik lagu Saat Kau Pergi
Entah mengapa hatiku trus gelisah
Apa yang 'kan terjadi
Air mata pun jatuh tak tertahan
Melihatmu terdiam
Ternyata kau pergi 'tuk s'lamanya
Tinggalkan diriku dan cintaku
Apa kau melihat dan mendengar
Tangis kehilangan dari ku
Baru saja ku ingin kau tahu
Perasaanku pada mu
Mungkin Tuhan tak ijinkan sekarang
Kau dan aku bahagia
Ternyata kau pergi 'tuk selamanya
Tinggalkan diriku dan cintaku
Apa kau melihat dan mendengar
Tangis kehilangan dari ku
Baru saja ku ingin kau tahu
Perasaanku pada mu

Dari lirik diatas kita bisa mengetahui bahwa penulis lagu Saat Kau Pergi sedang merasakan hatinya gelisah sampai air matanya jatuh tanpa ada sebab. Ternyata orang yang dia sayangi selama ini sudah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal si penulis lagu ingin mengungkapkan isi hatinya kalau dia sebenarnya sayang dan cinta kepadanya. Penulis merasa bahwa dia bukan jodohnya, karena dia belum sempat mengungkapkan cintanya tetapi sudah ditinggal pergi oleh sang kekasihnya.
Dari makna-makna yang bisa saya artikan di atas, penulis memunculkan ide untuk menulis lagu ini mungkin dari kejadian yang nyata, atau dari khayalannya, bisa dari imajinasi dia melihat lingkungan sekitarnya dan lain-lain.
Berbagai ide yang kemungkinan muncul di atas, kita harus bisa memanfaatkan ide-ide yang sudah dimunculkan oleh sang penulis. Seperti pada kalimat “Mungkin Tuhan tak ijinkan sekarang kau dan aku bahagia”, dari kalimat itu kita bisa memanfaatkan hasil ide penulis dengan memaknai kalimat tersebut. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa penulis merasakan bahwa Tuhan sudah memberikan jodoh yang lain kepadanya, karena orang yang dia saying sudah meninggalkan dia untuk selamanya.
Dari semua lirik lagu Saat Kau Pergi, manfaat yang paling utama yang bisa kita ambil dari ide-ide sang penulis lagu adalah janganlah menunda-nunda sesuatu yang berhubungan dengan perasaan, lebih baik sakit tapi kita sudah mengatakannya daripada kita pendam dalam-dalam perasaan kita hanya untuk menunggu jawaban yang belum jelas.

B. Manfaat dari Membaca Ide pada Lagu Saat Kau Pergi dari Bunga Citra Lestari

Lirik Lagu Mengapa harus Terjadi
Mengapa semua ini harus terjadi
Disaat kuteguh pada pendirian
Menghabiskan sisa hidup denganmu
Kau tak lagi yang kuingin bersamaku slamanya…Kasih….
Tuhan tolong aku
Untuk dapat memahami
Derita batinku ini
Tuhan bantu aku
Agar sanggup kurelakan
Bila dia bukan untukku
Segenap rencana denganmu kekasih
Tak mungkin terjadi tanpa kehangatanmu
Kini bagai orang asing di hidupku
Tiada lagi sapa rindu kurasa darimu…Kasih….
Tuhan tolong aku
Untuk dapat memahami
Derita batinku ini
Tuhan bantu aku
Agar sanggup kurelakan
Bila dia bukan untukku
Lagu Mengapa Harus Terjadi menceritakan tentang seseorang yang sudah terlanjur sayang sama kekasihnya dan telah menghabiskan sisa hidupnya untuk orang yang disayanginya, tetapi semua itu hilang dengan sekejap. Akhirnya dia memohon kepada Tuhan untuk memahami batin dan hatinya yang sudah sakit karena hubungan yang sudah dia jalin sama orang yang dia sayangi. Dia ingin memohon kalau memang dia bukan jodohnya, agar dijauhkan dari kehidupannya dan mengikhlaskannya.
Dari makna yang bisa saya artikan, ide-ide yang muncul dari lagu di Mengapa Harus Terjadi, banyak manfaat yang bisa kita ambil dari ide-ide yang muncul pada lagu Mengapa Harus Terjadi.
Manfaat yang paling luas yang bisa saya ambil adalah kita tidak boleh memberikan rasa sayang dan cinta kita kepada orang lain semuanya, dalam arti seluruh hidup kita untuk dia, bukan termasuk orang tua. Tidak ada orang yang harus kita sayangi 100 persen kecuali Tuhan kita, tetapi akibat dari terlalu sayangnya kita terhadap orang, pasti akan membuat hati dan perasaan kita bakalan tertekan seandainya kita ditinggal sama orang yang kita sayangi.




















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang sudah dijelaskan, dengan ini kami akan menyimpulkan pembahasan saya sebagai berikut :
1. Manfaat yang paling utama yang bisa kita ambil dari ide-ide lagu Saat kau Pergi adalah janganlah menunda-nunda sesuatu yang berhubungan dengan perasaan, lebih baik sakit tapi kita sudah mengatakannya daripada kita pendam dalam-dalam perasaan kita hanya untuk menunggu jawaban yang belum jelas.
2. Manfaat yang paling luas yang bisa saya ambil dari lagu Mengapa Harus Terjadi adalah kita tidak boleh memberikan rasa sayang dan cinta kita kepada orang lain semuanya, dalam arti seluruh hidup kita untuk dia, bukan termasuk orang tua. Tidak ada orang yang harus kita sayangi 100 persen kecuali Tuhan kita, tetapi akibat dari terlalu sayangnya kita terhadap orang, pasti akan membuat hati dan perasaan kita bakalan tertekan seandainya kita ditinggal sama orang yang kita sayangi.

B. Saran
Dalam mempelajari mata kuliah Membaca ini diharapkan para calon guru berkompeten dalam memberikan pembelajaran cara menganalisis yang baik kepada peserta didik sesuai dengan kompeten dasar yang dimiliki peserta didik ketika masuk dalam ranah pembelajaran formal.












DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1979. Membaca Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

“Pengertian Morfologi Dan Morfofonemik”

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Abdul Chaer, 1995: 14-18). Sebagai sebuah sistem, bahasa pada dasarnya memberi kendala pada penuturnya. Dengan demikian, bahasa pada gilirannya pantas diteliti, karena kendala-kendala yang dihadapi oleh penutur suatu bahasa memerlukaan penanganan dan pencerahan. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mempunyai tanggung jawab keilmuan kepada peserta didik dalam memberikan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Materi pembelajaran yang disajikan hendaknya mencerminkan kazanah bahasa Indonesia yang selaras dan sejalan dengan perkembangan peradaban rakyat Indonesia. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sebaiknya juga melakukan pengkajian terhadap berbagai persoalan terhadap perkembangan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Salah satu bidang pengkajian bahasa Indonesia yang cukup menarik adalah bidang tata bentukan atau morfologi. Bidang ini menarik untuk dikaji karena perkembangan kata-kata baru yang muncul dalam pemakaian bahasa sering berbenturan dengan kaidah-kaidah yang ada pada bidang tata bentukan ini. Oleh karena itu perlu dikaji ruang lingkup tata bentukan ini agar ketidaksesuaian antara kata-kata yang digunakan oleh para pemakai bahasa dengan kaidah tersebut tidak menimbulkan kesalahan sampai pada tataran makna. Jika terjadi kesalahan sampai pada tataran makna, hal itu akan mengganggu komunikasi yang berlangsung. Bila terjadi gangguan pada kegiatan komunikasi maka gugurlah fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi. Hal ini tidak boleh terjadi.
Salah satu gejala dalam bidang tata bentukan kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki peluang permasalahan dan menarik untuk dikaji adalah proses morfofonemik atau morfofonemis. Permasalahan dalam morfonemik cukup variatif, pertemuan antara morfem dasar dengan berbagai afiks sering menimbulkan variasi-variasi yang kadang membingungkan para pemakai bahasa. Sering timbul pertanyaan dari pemakai bahasa, manakah bentukan kata yang sesuai dengan kaidah morfologi. Dan, yang menarik adalah munculnya pendapat yang berbeda dari ahli bahasa yang satu dengan ahli bahasa yang lain. Fenomena itulah yang menarik bagi kami untuk melakukan pengkajian dan memaparkan masalah tentang pengertian morfologi dan morfofonemik ini dalam makalah ini.

B. BATASAN MASALAH
Agar masalah penelitian lebih fokus kepada tujuan penelitian dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah penelitian hanya pada ruang lingkup tentang “Pengertian Morfologi Dan Morfofonemik”.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Morfologi ?
2. Apa Pengertian Morf, Morfem dan Alomorf ?
3. Apa Hubungan Morfem dan Kata ?
4. Apa Deretan Morfologi ?
5. Apa Kata Dasar dan Dasar Kata ?
6. Apa Hierarki Kata ?
7. Apa Pengertian Morfofonemik ?
8. Apa Proses Perubahan Fonem ?
9. Apa Proses Penambahan Fonem ?
10. Apa Proses Penanggalan Fonem ?
11. Apa Kaidah Fonemik ?




D. TUJUAN
Dalam tujuan kali ini, kami membagi pembahasan kami menjadi 2 tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Agar semua instrumen-instrumen masyarakat mengerti arti dari morfologi secara umum dan mengerti kaidah-kaidah yang terkandung dalam morfofonemik. Sehingga masyarakat bisa mengerti apa yang dimaksud dengan Morfologi dan Morfofonemik.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat mengerti pengertian morfologi dan morfofonemik.
b. Mahasiswa dapat mengetahui kaidah-kaidah yang terkandung dalam kajian morfologi dan morfofonemik.














BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MORFOLOGI
Morfologi atau tata bentuk ada pula yang menyebutnya morphemics adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1984 : 52). Dengan perkataan lain, morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, dan klasifikasi kata-kata. Dalam linguistik bahasa Arab, morfologi ini disebut tasrif, yaitu perubahan suatu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentuk untuk mendapatkan makna yang berbeda (baru). Tanpa perubahan bentuk ini, maka yang berbeda tidak akan terbentuk (Alwasilah, 1983 : 101).
Untuk memperjelas pengertian di atas, perhatikanlah contoh-contoh berikut dari segi struktur atau unsur-unsur yang membentuknya.
a. Makan
Makanan
Dimakan
Termakan
Makan-makan b. Main
Mainan
Bermain
Main-main
Bermain-main
Contoh-contoh yang terpampang di atas, semuanya disebut kata. Namun demikian, struktur kata-kata tersebut berbeda-beda. Kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna. Kata makanan, dimakan, dan termakan masing-masing terdiri atas dua bentuk bermakna yaitu –an, di-, ter- dengan makan. Kata makan-makan terdiri atas dua bentuk bermakna makan dan makan. Rumah makan pun terdiri atas dua bentuk bermakan rumah dan makan. Kata main, sama dengan kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna, sedangkan kata mainan, bermain, main-mainan, permainan, memainkan masing-masing terdiri atas dua buah bentuk bermakna yakni –an, ber-, main, per-an, me-kan dengan main. Kata bermain-main terdiri atas tiga bentuk bermakna ber-, main, dan main.
Berdasarkan contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk tersebut dapat berubah karena terjadi suatu proses. Kata makan dapat berubah menjadi makanan, dimakan, termakan karena masing-masing adanya penambahan –an, di-, dan ter-, dapat pula menjadi makan-makan karena adanya pengulangan, dapat pula menjadi rumah makan karena penggabungan dengan rumah. Perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata. Kata makan termasuk jenis atau golongan kata kerja sedangkan makanan termasuk jenis atau golongan kata benda. Dari segi makna kata makan maknanya ‘memasukan sesuatu melalui mulut’, sedangkan makanan maknanya ‘semua benda yang dapat dimakan’.
Seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti atau makna kata seperti contoh di atas itulah yang dipelajari oleh bidang morfologi (Ramlan, 1983 : 3).

B. PENGERTIAN MORF, MORFEM DAN ALOMORF
Morfem adalah bentuk yang paling kecil yang tidak mempunyai bentuk lain sebagai unsurnya. Banyak morfem yang hanya mempunyai satu struktur yakni jumlah maupun urutan fonemnya selalu tetap. Di lain pihak, banyak morfem yang mempunyai beberapa struktur fonologis, misalnya morfem peN- mempunyai struktur-struktur fonologis pe-, pem-, pen-, peng-, peny-, dan penge-, seperti terlihat pada kata-kata: pelari, pembimbing, pendengar, penguji, penyakit, dan pengecat. Satuan-satuan pe-, pem-, peng-, peny-, dan penge- masing-masing disebut morf yang semuanya alomorf dari morfem peN- (Ramlan, 1983 : 27). Jadi dapatlah dikatakan bahwa morfem peN- mempunyai morf-morf pe-, pem-, pen-, peng-, peny-, dan penge- sebagai alomorfnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alomorf itu merupakan variasi bentuk suatu morfem. Keraf (1982 : 51) mengatakan bahwa variasi itu disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang dimasukinya. Maksudnya, bergantung kepada jenis fonem awal sebuah satuan yang dilekati oleh morfem tersebut. Perubahan /N/ itu harus homogen. Sebagai contoh /N/ akan menjadi /m/ apabila dilekatkan pada bentuk dasar yang diawali fonem /b/. Fonem /m/ dan /b/ sama-sama bunyi bilabial. Jadi yang dimaksud dengan Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

C. MORFEM DAN KATA
Yang dimaksud dengan kata dalam pembicaraan ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata disusun oleh satu atau beberapa morfem. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Dalam kalimat “amin sedang mempelajari soal itu”, misalnya, terdapat empat kata monomorfemis, yaitu Amin, sedang, soal dan itu, dan satu kata polimorfemis, yakni mempelajari. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.
Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Kata seperti amin, sedang, soal dan itu dapat dianggap tidak mengalami proses morfologis, sedangkan kata seperti mempelajari dan persoalan merupakan kata hasil suatu proses morfologis.
Salah satu contoh proses morfologis adalah pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengah, di belakang atau di depan dan belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan belakang disebut apitan, sirkumfiks atau konfiks. Contohnya adalah sebagai berikut :
Prefiks : berkata, merasa, perasa, serasa, terasing
Infiks : gerigi, gemuruh, gelosok, seruling
Sufiks : tulisi, tuliskan, tulisan
Sirkumfiks : pernyataan, persatuan, kesatuan
Afiks selalu merupakan morfem terikat, sedangkan morfem dasar dapat berupa morfem bebas atau morfem terikat. Berikut ini beberapa contoh morfem dasar yang terikat : aju, cantum, elak, genang, giru, huni, imbang, jelma, jenak, kitar, lancing, paut.
Morfem dengan Kata
Perhatikanlah satuan-satuan gramatik berikut ini !
1) tanda
2) menandai
3) tanda tangan
4) dari Bandung
Satuan tanda merupakan sebuah bentuk bebas karena tidak dapat dibagi menjadi satuan-satuan bebas lainnya. Satuan menandai tidak dapat dibagi menjadi bentuk bebas. Tetapi perhatikan bentuk atau satuan tanda tangan dapat dibagi menjadi dua satuan yakni tanda dan tangan. Namun kalau diteliti lebih jauh, sebenarnya satuan tanda tangan memiliki satu kesatuan yang utuh atau padu. Dengan perkataan lain, tanda tangan memiliki sifat sebuah kata yang membedakan dirinya dari frase (Ramlan, 1983 : 28; Prawirasumantri, 1985 : 129). Bentuk-bentuk atau satuan-satuan yang setipe itu tidak mungkin dipisahkan atau dibalikkan menjadi tangan tanda atau dipisahkan satuan lain tanda itu tangan. Bentuk atau satuan sepeti itu dalam hubungannya keluar selalu merupakan satu kesatuan dari. Satuan itu bukan merupakan bentuk bebas seperti contoh lainnya di, ke, daripada- tetapi secara gramatis memiliki sifat bebas. Satuan-satuan seperti contoh di atas dari nomor 1 sampai dengan 4 di sebut kata.
Berdasarkan penjelasan di atas, nyatalah bahwa kata dapat terdiri atas satu morfem atau lebih. Kata-kata seperti: duduk, makan, tidur, meja masing-masing terdiri atas sebuah morfem, sedangkan penduduk, makanan, meja makan, kaki tangan masing-masing terdiri atas dua buah morfem. Kata-kata yang terdiri atas satu morfem disebut kata bermorfem tunggal atau kata monomorfemis (monomorphemic word) dan kata-kata yang terdiri atas dua morfem atau lebih disebut kata bermorfem jamak atau kata polimorfemis (polymorphemic word) (Verhaar, 1984 : 54).
Dari paparan di atas dapatlah ditarik suatu ciri kata. Ciri kata pada dasarnya mencakup dua hal yaitu: (1) kata merupakan suatu kesatuan penuh dan komplit dalam sebuah ujaran bahasa, dan (2) kata dapat ditersendirikan yakni bahwa sebuah kata dalam kalimat dapat dipisahkan dari yang lain dan dapat dipindahkan (Parera, 1980 : 10).

D. DERETAN MORFOLOGI
Paradigma yaitu daftar lengkap perubahan afiksasi yang mungkin dengan morfem asal yang sama (Verhaar, 1984:65). Morfem asal itu mungkin mengalami perubahan bentuk akibat afiksasi (Sitindoan, 1984:68). Pengertian paradigma sama maknanya dengan deretan morfologi seperti yang diungkapkan Ramlan (1983:28) yaitu suatu deretan atau daftar yang memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya.
Deretan morfologi ini akan berguna dalam menentukan sebuah morfem. Dengan membuat paradigma atau deretan morfologi kita akan dapat menentukan suatu morfem, misalnya:
menulis
penulis
tertulis
bertulis
bertuliskan
tulisan
tulis-menulis
menulisi
ditulisi
dituliskan
bertuliskan
menuliskan
Dari perbandingan kata yang terdapat dalam paradigma di atas, dapat disimpulkan adanya morfem tulis sebagai unsur yang terdapat pada tiap-tiap kata. Dengan demikian kita dapat menentukan bahwa menulis terdiri atas morfem meN- dan tulis dan seterusnya. Contoh lain dapat kita lihat dari paradigma berikut.
menelantarkan
ditelantarkan
keterlantaran
berdasarkan paradigma di atas jelaslah bahwa kata terlantar terdiri atas satu morfem, bukan dua morfem ter- dan lantar.

E. KATA DASAR DAN DASAR KATA
1. Kata Dasar
Kata dasar adalah kata yang paling sederhana yang belum memiliki imbuhan Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata : misalnya : rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib, yaitu :
1. Pola Kanonik I : K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
2. Pola Kanonik II : K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.
Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh Von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain. Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.
Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kita akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:
ru – mah (K-V + K-V-K)
ka – ta (K-V + K-V)
a - pa (V + K-V)
lem – but (K-V-K + K-V-K)
na – ik (K-V + V-K)
a – ir (V + V-K) dan lain-lain.
2. Dasar Kata
Jika kita memperhatikan lagi dengan cermat akan bentuk-bentuk kata dasar, tampaklah bahwa ada banyak kata yang memiliki bagian yang sama. Seorang ahli bahasa dari Austria bernama Renward Brandsetter telah mencurahkan minatnya sepenuhnya dalam hal ini. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya, pernah terbentuk dari suatu unsur yang lebih kecil yang disebut Dasar Kata. Kata-kata seperti bukit, rakit, bangkit, ungkit, dan lain-lain dapat dipulangkan kepada suatu unsur dasar yaitu vkit.
Dengan demikian dalam bahasa Indonesia kita mendapat bermacam-macam dasar kata seperti :
vtun : tuntun, santun, pantun.
vtas : batas, atas, pentas, petas, retas , dan lain-lain.
vlut : kalut, balut, salut, belut, dan lain-lain.
vlit : lilit, kulit, sulit, belit, dan lain-lain.
F. HIERARKI KATA
Hierarki kata adalah tingkatan kata/penjenjangan kata/kelas kata. Bahasa Indonesia mengenal pengelompokan kosa dalam bentuk kelas kata. Tata bahasa Indonesia banyak pendapat para mengenai jumlah dan jenis kelas kata. Kelas kata terdiri dari seperangkat kategori morfologis yang tersusun dalam kerangka sistem tertentu yang berbeda dan sistem kategori morfologis kelas kata lain. Kategori morfologis adalah sederetan kata yang memiliki bentuk gramatikal dan makna gramatikal yang sama. Setiap kategori morfologis itu terbentuk oleh prosede morfologis tertentu. Prosede morfologis adalah pembentukan kata secara sinkronis. Prosede morfologis itu ada dua macam yaitu derivasi dan intleksi. Derivasi adalah prosede morfologis yang menghasilkan kata-kata yang makna leksikalnya berbeda dari kata pangkal pembentuknya. Sebaliknya, infleksi menghasilkan kata-kata yang bentuk gramatikalnya berbeda-beda, tetapi leksemnya tetap seperti pada kata pangkalnya. Kategori Morfologi Kelas Kata Bahasa Indonesia dapat dibedakan atas :
1. Kelas Nomina
Untuk menentukan suatu kata termasuk nomina, digunakan penanda valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi nomina itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama, yaitu (1) mempunyai potensi berkombinasi dengan kata bukan, (2) mempunyai potensi didahului oleh kata di, ke, dari, pada. Kelas nomina yang ditemukan dan data terdiri dan: (1) nomina murni, yakni nomina yang tidak berasal dari kelas kata lain, (2) nomina deverbal, yakni nomina yang terbentuk dari verba.
2. Kelas Verba
Untuk menentukan suatu kata termasuk verba, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori pembangun kerangka sisteni morfologi verba itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama, yaitu mempunya; potensi berkomhinasi dengan kata: tidak, sudah, sedang, akan, baru, telah, belum, mau, hendak. Kelas verba yang ditemukan pada data terdiri dari (1) verba murni, yakni verba yang tidak berasal dari kelas kata lain, (2) verba denominal, yakni verba yang terbentuk dari nomina, (3) verba deadjektival, yakni verba yang terbentuk dan adjektiva, (4) verba denuineral, yakni verba yang terbentuk dari numeralia, dan (5) verba depronominal, yakni verba yang terbentuk dari pronomina.
3. Kelas Adjektiva
Untuk menentukan suatu kata termasuk adjektiva, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adjektiva itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama yaitu mempunyai potensi berkombinasi dengan kata: sangat, agak, paling, amat, sekali.
Kelas adjektiva yang ditemukan pada data hanya satu kategori morfologis, yaitu berupa adjektiva bentuk dasar yang terdiri dari :
Contoh : apes, aman, akrab, takut, basah, banyak, baik, bodoh, cukup, kerdil, salam, suka, sudah, tersinggung, berwibawa, terlalu, spona, serius, sering, cantik, tenang.
4. Kelas Numeralia
Untuk menentukan suatu kata lermasuk numeralia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologis numeralia itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama yaitu dapat bergabung dengan nomina.
Kelas numeralia yang ditemukan pada data hanya ada satu macam yaitu numeralia murni. Adapun yang dimaksud numeralia murni adalah numeralia yang tidak berasal dari kelas kata lain. Numeralia murni ini terdiri dari numeralia dasar (monomorfemis) dan numeralia tununan (polimortemis). Numeralia turunan yang terbentuk dari kata-kata numeralia disebut numeralia denumeral.
5. Kelas Adverbia
Untuk menentukan suatu kata termasuk adverbia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adverbia itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama yaitu dapat bergabung dengan verba. Kelas adverbia yang ditemukan pada data hanya ada satu kategori morfologis, yaitu berupa adverbia bentuk dasar yang terdiri dari :
Contoh: tak, telah, akan, baru, sudah, sedang, saja, juga.

G. PENGERTIAN MORFOFONEMIK
Morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari perubahan bunyi yang diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem. Nelson Francis (1958) mengatakan bahwa morfofonemik mempelajari variasi-variasi yang tampak pada struktur fonemik alomorf-alomorf sebagai akibat pengelompokkan menjadi kata (Ahmadslamet, 1982:69). Pengertian lain dilontarkan oleh Samsuri (1982:201) bahwa morfofonemik merupakan studi tentang perubahan-perubahan fonem yang disebabkan hubungan dua morfem atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.
Prawirasumantri (1986:37) memberikan contoh untuk memperjelas bidang garapan morfofonemik yakni dengan pertemuan morfem ber- dengan morfem ajar menghasilkan bentuk belajar. Pada proses morfologis ini terjadi perubahan /r/ menjadi /l/. pertemuan morfem meN- dengan lihat menjadi melihat. Disini tampak bunyi /N/ hilang menjadi me-. Perubahan-perubahan bunyi akibat pertemuan dua morfem atau lebih disebut morfofonemis, sedangkan tanda huruf besar pada meN- yang pada realitas fonemis bisa berupa beberapa macam bunyi/fonem disebut morfofonem, dan ilmu yang mempelajarinya disebut morfofonemik.

H. PROSES PERUBAHAN FONEM
Perubahan bunyi akan terjadi pada :
1) Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang dimulai oleh fonem atau bunyi /d/ dan bunyi /s/ khusus pada bentuk dasar yang berasal dari bahasa asing akan terjadi perubahan bunyi /N/ menjadi /n/.
meN- + datang
meN- + survai
peN- + damar
peN- + supply →


→ mendatang
mensurvei
pendamar
pensupply
2) Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang berawal dengan bunyi atau fonem /b, f/ akan terjadi perubahan bunyi /N/ menjadi /m/. Misalnya :
meN- + buru
meN- + fitnah
peM- + buang
peM- + fitnah →


→ memburu
memfitnah
pembuang
pemfitnah
3) Pertemuan morfem meN- den peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /c, j/, maka fonem /N/ akan berubeh menadi /n/. Misalnya :
meN- + cakar
meN- + jajal
peN- + ceramah
peN- + jamu →


→ mencakar
menjajal
penceramah
penjamu
4) Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan. bentuk dasar yang berbunyi awal /g, h, x/ dan voka1 , maka fonem /N/ akan berubah menjadi /η/. Misalnya :
meN- + garap
meN- + hasut
meN- + khayal
meN- + ambil
meN- + intip
meN- + ukur
meN- + ekor
meN- + orbit
peN- + garis
peN- + harum
peN- + khianat
peN- + angkat
peN- + isap
peN- + umpat
peN- + olah →













→ menggarap
menghasut
mengkhayal
mengambil
mengintip
mengukur
mengekor
mengorbit
penggaris
pengharum
pengkhianat
pengangkat
pengisap
pengumpat
pengolah
5) Pertemuan morfem ber- dan per— pada bentuk dasar ajar mengakibatkan perubahan bunyi /r/ men jadi /1/. Peristiwa ini sebenarnya merupakan peristiwa unik, sebab hanya terjadi pada bentuk dasar ajar sehingga ada yang mengatakan suatu “kekecualian”. Perhatikanlah :
ber- + ajar
per- + ajar →
→ belajar
pelajar
6) Pertemuan morfem ke-an dan -i dengan bentuk dasar berfonem akhir /?/ menyebabkan fonem tersebut berubah menjadi /k/. Misalnya :
duduk /dudu?/ + ke-an
bedak /beda?/ + -i →
→ kedudukan
bedaki



I. PROSES PENAMBAHAN FONEM
Proses penambahan bunyi terjadi pada :
1) Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an, menyebabkan timbulnya fonem atau bunyi /?/ bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/. Misalnya :
-an + sapa
ke-an + sama
per-an + kata →

→ sapaan
kesamaan
perkataan
Jika peN-an dipertemukan dengan bentuk dasar yang diawali bunyi /p, t, k, dan s/ dan diakhiri oleh vokal maka morfofonemis yang terjadi berupa perubahan, penghilangan dan penambahan bunyi. Contoh :
peN-an + tanda
peN-an + padu
peN-an + kaji
peN-an + sampai →


→ penandaan
pemaduan
pengajian
penyampaian
2) Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang berakhir dengan bunyi /i/ akan menyebabkan timbulnya bunyi /y/. Misalnya :
-an + hari
ke-an + serasi
per-an + api →

→ harian
keserasian
perapian
3) Pertemuan antara morfem , ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang berkhir dengan fonem /u, o/ akan menyebabkan timbulnya fonem /w/. Misalnya :
-an + jamu
ke-an + lucu
per-an + sekutu
-an + kilo
ke-an + loyo
per-an + toko →




→ jamuan
kelucuan
persekutuan
kiloan
keloy
pertokoan

J. PROSES PENANGGALAN FONEM
Proses penanggalan atau penghilangan bunyi dapat terjadi atas :
1) Bunyi /N/ pada meN- dan peN- yang hilang karena pertemuan kedua morfem tersebut dengan bentuk dasar yang berbunyi atau berfonem awal /r, l, y, w/ dan nasal. Misalnya :
meN- + ramu
meN- + lucu
meN- + yakini
meN- + wangi
meN- + nyanyi
meN- + minyak
meN- + ngeong
meN- + nanti
peN- + rusak
peN- + lacak
peN- + yakin
peN- + wajib
peN- + nyala
peN- + mabuk
peN- + nanti →













→ meramu
melucu
meyakini
mewangi
menyanyi
meminyak
mengeong
menanti
perusak
pelacak
peyakin
pewajib
penyala
pemabuk
penanti
2) Fonem /r/ pada morfern ber-, ter-, dan per- hilang bila yang berbunyi atau berfonem awal /r/ atau yang suku pertamanya berakhir dengan bunyi /r/. Misalnya :
ber- + rambut
ber- + serta
ber- + kerja
ter- + rasa
ter- + rayu
per- + ramal
per- + ramai
per- + serta →






→ berambut
beserta
bekerja
terasa
terayu
peramal
peramai
peserta


K. KAIDAH FONEMIK
Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti. Dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Dalam kaidah fonemik atau biasa yang disebut aturan-aturan dalam fonemik ini, kita meneliti apakah dalam perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
1. Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, bisanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama dan mencari pasangan minimalnya. Identitas sebuah fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja.
2. Alofon
Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis, artinya banyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya. Tentang distribusinya, mungkin bersifat komplementer atau bebas. Distribusi komplementer atau saling melengkapi adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan, meskipun diperlukan tidak akan menimbulkan perbedaan makna, sifatnya tetap pada lingkungan tertentu. Sedangkan distribusi bebas adalah bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi tertentu. Alofon adalah realisasi dari fonem. Fonem bersifat abstrak karena fonem itu hanyalah abstraksi dari alofon atau alofon-alofon itu.
3. Klasifikasi Fonem
Fonem dibedakan menjadi fonem vokal dan konsonan. Ini agak terbatas sebab hanya bunyi-bunyi yang dapat membedakan makna saja yang dapat menjadi fonem. Fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran disebut fonem segmental. Sebaliknya fonem yang berupa unsur suprasegmental disebut fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental. Dalam bahasa Indonesia unsur suprasegmental tampaknya tidak bersifat fonemis atau morfemis, namun intonasi mempunyai peranan pada tingkat sintaksis. Kalau kriteria klasifikasi terhadap fonem sama dengan kriteria yang dipakai untuk klasifikasi bunyi (fon) maka penamaan kemampuan sama dengan penamaan bunyi.
4. Khazanah Fonem
Khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa. Jumlah fonem suatu ba\hasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain. Ada kemungkinan juga, karena perbedaan tafsiran, maka jumlah fonem tidak sama.
5. Perubahan Fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau ada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Namun, perubahan yang terjadi pada kasus fonem /o/ bahasa Indonesia itu bersifat fonetis, tidak mengubah fonem /o/ itu menjadi fonem lain.
6. Fonem dan Grafem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Ini dapat dicari dari dua buah kata yang mirip, yang memiliki satu bunyi yang berbeda. Fonem dianggap sebagai konsep abstrak. Dalam studi fonologi, alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu dapat dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik. Yang paling tidak akurat adalah transkripsi ortografis, yakni penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa. Grafem adalah satuan unit terkecil sebagai pembeda dalam sebuah sistem aksara. Contoh grafem antara lain adalah huruf alfabet, aksara Tionghoa, angka, tanda baca, serta simbol dari sistem penulisan lain. Satu grafem dapat dipetakan tepat pada satu fonem, meskipun cukup banyak sistem ejaan yang memetakan beberapa grafem untuk satu fonem (misalnya grafem dan untuk fonem /ŋ/) atau sebaliknya, satu grafem untuk beberapa fonem (misalnya grafem untuk fonem /e/ dan /ə/).




BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari sedikit penjelasan di atas tentang pengertian Morfologi dan Morfofonemik beserta pokok bahasan lain yang terkandung dalam pengertian Morfologi dan Morfofonemik, dapat ditarik sedikit kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian Morfologi adalah ilmu yang mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, dan klasifikasi kata-kata.
2. Di dalam ilmu morfologi kita bisa membahas pengertian morfem, morf, alomorf, morfem dan kata, deretan morfologi, kata dasar dan dasar kata dan hierarki kata (tingkatan-tingkatan dalam kata).
3. Pengertian morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari perubahan bunyi yang diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem.
4. Di dalam morfofonemik kita bisa membahas tentang perubahan-perubahan fonem yang disebabkan hubungan dua morfem atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.

B. SARAN
Penyusunan makalah ini adalah sarana informasi dan solusi dalam menyikapi mata kuliah Morfologi. Dengan adanya mata kuliah Morfologi ini, mahasisiwa bisa mengerti sedikit tentang ilmu Morfologi dan Morfofonemik yang nantinya bisa mendukung proses dan faktot-faktor yang berhubungan dengan pendidikan mahasiswa di kampus.
Dalam mempelajari ilmu Morfologi ini diharapkan para calon guru berkompeten dalam memberikan pembelajaran bahasa kepada peserta didik sesuai dengan kompeten dasar yang dimiliki peserta didik ketika masuk dalam ranah pembelajaran formal.


SOAL – SOAL

1. Apa yang dimaksud dengan ilmu morfologi? Jelaskan!
2. Jelaskan apa pengertian dari morfem, morf dan alomorf?
3. Apa pengertian dari monomorfemis dan polimorfemis? Berikan contoh masing-masing 2!
4. Buatkan 2 deretan morfologi!
5. Menurut ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia, sebutkan! Berikan contoh 5 dari masing-masing pola tersebut!
6. Sebutkan aturan-aturan dalam fonemik? Jelaskan!
7. Jelaskan pengertian morfofonemik?
8. Sebutkan Kategori Morfologi Kelas Kata Bahasa Indonesia? Jelaskan!
9. Berikan contoh proses perubahan fonem dan penambahan fonem! Masing-masing 3!
10. Jelaskan pengertian fonem dan grafem?










KUNCI JAWABAN

1. Morfologi atau tata bentuk ada pula yang menyebutnya morphemics adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal.
2. Morfem adalah bentuk yang paling kecil yang tidak mempunyai bentuk lain sebagai unsurnya.
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya.
Alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
3. Monomorfemis adalah kata yang bermorfem satu.
Contoh : ingat, jadi
Polimorfemis adalah kata bermorfem lebih dari satu.
Contoh : berangkat, belajar
4. Contoh deretan morfologi
tulis
menulis
penulis
tulisan terlantar
menelantarkan
ditelantarkan
keterlantaran

5. Pola Kanonik I : K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal. Contoh : padi, lari, paku, tiga, dan dada.
Pola Kanonik II : K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, Contoh : rumah, tanah, batang, sayap dan larang.


6. Aturan-aturan dalam kaidah sebagai berikut :
- Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, bisanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama dan mencari pasangan minimalnya.
- Alofon
Alofon adalah realisasi dari fonem. Fonem bersifat abstrak karena fonem itu hanyalah abstraksi dari alofon atau alofon-alofon itu.
- Klasifikasi Fonem
Klasifikasi fonem menggunakan bunyi-bunyi untuk membedakan makna.
- Khazanah Fonem
Khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa.
- Perubahan Fonem
Ucapan sebuah fonem yang berbeda-beda yang tergantung pada lingkungannya.
- Fonem dan Grafem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Grafem adalah satuan unit terkecil sebagai pembeda dalam sebuah sistem aksara.
7. Morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari perubahan bunyi yang diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem.
8. Kelas Nomina
Untuk menentukan suatu kata termasuk nomina, digunakan penanda valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi nomina itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama.


Kelas Verba
Untuk menentukan suatu kata termasuk verba, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori pembangun kerangka sisteni morfologi verba itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama.
Kelas Adjektiva
Untuk menentukan suatu kata termasuk adjektiva, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adjektiva itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama.
Kelas Numeralia
Untuk menentukan suatu kata termasuk numeralia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologis numeralia itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama.
Kelas Adverbia
Untuk menentukan suatu kata termasuk adverbia, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori morfologis pembangun kerangka sistem morfologi adverbia itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama.
9. Proses Perubahan Fonem
meN- + datang
meN- + survai
peN- + damar →

→ mendatang
mensurvei
pendamar
Proses Penambahan Fonem
-an + sapa
ke-an + sama
per-an + kata →

→ sapaan
kesamaan
perkataan

10. Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Grafem adalah satuan unit terkecil sebagai pembeda dalam sebuah sistem aksara.


DAFTAR PUSTAKA

Rahardi, R. Kunjana Dr. M.Hum. 2005. Pragmatik Kesatuan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Sarwoko, Tri adi. 2003. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta : Andioffset.
http://tata-bahasa.110mb.com/Index.htm
http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detailmateri&id=85
http://muslich-m.blogspot.com/2007/08/fonologi-bahasa-indonesia.html

Inovasi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tidak bisa diragukan lagi bahwasanya manusia tak akan terlepas dengan mengeksplorasi segala sumber daya yang dimilikinya. Dengan cara mencurahkan segala daya dan kemampuanya untuk selalu berinovasi menemukan sesuatu yang baru yang dapat membantu hidupnya menjadi lebih baik. Jika manusia tidak menggali segala kemampuanya maka ia akan tertinggal bahkan tergerus oleh zaman yang selalu berkembang.
Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manusia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya). Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery.
Drs. Suwadji (1984) memberikan deskripsi tentang inovasi antara lain sebagai berikut : inovasi adalah suatu idea, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat).
Dapat dilihat dari pendapat dua penulis tersebut, bahwa dalam istilah inovasi terkandung sesuatu yang baru, pembaharuan, peneriman sesuatu yang baru, kesediaan menerima ide yang baru, yang dipandang lebih baik dari keadaan yang sebelumnya.
Dari permasalahan diatas akhirnya penulis tertarik untuk mengadakan diskusi mengenai “Inovasi Pendidikan”, sehingga diharapkan bisa menunjang pengetahuan bagi mahasiswa, calon guru atau pengajar, dan pembaca pada umumnya.

1.2 Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis memberikan batasan masalah tentang Inovasi Pendidikan agar tidak keluar dari pokok bahasan yang akan dibahas. Masalah yang dibahas adalah pengertian dan manfaat inovasi pendidikan, inovasi pendidikan nasional dan jenis-jenis inovasi pendidikan

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian inovasi pendidikan ?
2. Apakah manfaat inovasi pendidikan ?
3. Apakah inovasi pendidikan nasional ?
4. Apa saja jenis-jenis inovasi pendidikan?

1.4 Tujuan
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari latarbelakang dan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Agar dapat mengetahui pengertian inovasi pendidikan.
2. Agar dapat mengetahui manfaat inovasi pendidikan.
3. Agar dapat mengetahui pengertian inovasi pendidikan nasional.
4. Agar dapat mengetahui jenis-jenis inovasi pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inovasi Pendidikan
Santoso S. Hamidjoyo (1974 : 87) memberikan definisi inovasi pendidikan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda dari hal (yang ada) sebelumnya dan sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Inovasi pendidikan adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi dunia pendidkan. Contoh bidangnya adalah Managerial, Teknologi, dan Kurikulum. Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan. Dengan demikian metode baru atau cara baru dalam melaksanakan metode yang ada seperti dalam proses pembelajaran dapat menjadi suatu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Sementara itu inovasi dalam teknologi juga perlu diperhatikan mengingat banyak hasil-hasil teknologi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti penggunaannya untuk teknologi pembelajaran, prosedur supervise serta pengelolaan informasi pendidikan yang dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan pendidikan.


2.2 Manfaat Inovasi Pendidikan
Pendidikan dilaksanakan oleh manusia untuk manusia sejak manusia ada di dunia ini. Bagi manusia pendidikan berperan sebagai sesuatu yang membantu manusia mengembangkan potensinya semaksimal mungkin agar dapat hidup selaras dengan lingkungannya, dimasa kini maupun di masa yang akan datang. Untuk itu manusia harus mengerti manfaat dari inovasi pendidikan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Manfaat Inovasi Pendidikan :
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia / input.
2. Meningkatkan kelulusan / output.
3. Munculnya metode-metode pembelajaran baru. Seperti : KBK, KTSP, CTL, dll.

2.3 Inovasi Pendidikan nasional
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Jadi inovasi pendidikan nasional adalah sebuah perubahan di sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, guna mencapai tujuan pendidikan tertentu.

2.4 Jenis-jenis Inovasi Pendidikan
1. Top-Down Inovation
Top-down inovasi pendidikan merupakan inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan. Jenis inovasi ini merupakan inovasi yang dari atas untuk dilaksanakan oleh pelaku di bawah. Seperti Sekolah Persiapan Pembangunan, CBSA, SBJJ, Guru Pamong, Sekolah Kecil, Sistem Modul, SD-SMP Satu Atap, Kelas Akselerasi, Sekolah Model, Broad Base Education (BBE), BOM, Life Skill, MBS, MPMBS dan lain-lain.
Model pembelajaran siswa aktif yang lebih dikenal dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang berorientasi pada pendekatan proses. Sistem ini adalah sebuah cara pendekatan yang dapat dijadikan pilihan agar otak tidak beku dan anak melakukan inovasi kreatif.
Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat/ Kanwil/Kandep dinas ke level sekolah (Samani, 1999:6). Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan kepurusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya.

2. Bottom-Up Innovation
Model inovasi ini merupakan inovasi pendidikan yang bersumber dari hasil ciptaan oleh unsur pelaksana di bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan.



















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas.














DAFTAR PUSTAKA

Dalam situs http://WWW. Shafe.Tripod.com// Inov.htm. Dikunjungi 23 Desember 2008. Noor, Idris H.M.
http://WWW.pdk.go.id/balitbang/publikasi/Jurnal/no_026/sebuah_Tinjauan_teoritis_Idris. htm. dikunjungi 23 Desember 2008. Cece Wijaya, Djaja jajuri, A. Tabrani Rusyam. 1991.
Tim MKDK IKIP Surabaya. 1996. Pengantar Pendidikan Bagian I. Surabaya: University Prees IKIP Surabaya.
Tirtarahardja, Umar dan Sula, La. 1995. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

“Pemerolehan Bahasa dan Belajar Bahasa”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Fenomena pemerolehan bahasa pada anak sangatlah menarik dalam kejadiannya. Hal itu disebabkan oleh adanya faktor bahwa bahasa anak bersifat unik. Keunikan itu tampak pada kekhasan bahasa anak yang memiliki karakteristik tersendiri. Bahasa anak bukan merupakan miniatur bahasa orang dewasa. Kenyataannya anak berbahasa bukan untuk memutarbailikkan, mengurangi, atau merusak bahasa orang dewasa disebabkan oleh keterbatasan kemampuan ingatan, perhatian ataupun kekurangmatangan jiwanya. Namun anak telah menciptakan aturan ataupun pola-pola kebahasaan menurut kehendaknya sendiri. McGraw dalam Tarigan (1988:4) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa ini terdapat beberapa pengetian, pengertian yang satu mengatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai satu permulaan yang tiba-tiba mendadak. Kemerdekaan bahasa mulai sekitar usia satu tahun di saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka. Pengertian lain mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang muncul dari prestasi-prestasi sosial, dan kognitif pra linguistik.
Mengingat luasnya bahasan pemerolehan bahasa maka dalam makalah ini akan kita bahas hanya sebatas hakekat pemerolehan dan ragam pemerolehan bahasa.

1.2 Batasan Masalah
Agar masalah penelitian lebih fokus kepada tujuan penelitian dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah penelitian hanya pada ruang lingkup tentang “Pemerolehan Bahasa dan Belajar Bahasa”

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa hakikat pemerolehan bahasa ?
2. Apa ragam pemerolehan bahasa ?
3. Bagaimana cara belajar bahasa ?

1.4 Tujuan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, serta batasan masalah yang diajukan diatas maka secara umum penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan hakikat pemerolehan bahasa.
2. Menjelaskan ragam pemerolehan bahasa.
3. Menjelaskan cara belajar bahasa.






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Pemerolehan Bahasa
Berbicara mengenahi pemerolehan sesuatu bahasa, maka dengan kekecualian beberapa anak yang mengalami ganguan/cacat, semua anak mempelajari paling sedikit satu bahasa. Hal inilah yang membuat sejumlah linguis percaya bahwa kemampuaan belajar bahasa paling tidak sebagian berkaitan dengan program genetik yang memang khas bagi manusia. Sudah barang tentu bahwa tidak ada mahluk yang mempunyai sesuatu seperti kemampuan-kemampuan komunikatif kita sebagai insan manusia. Hipotesis ini ditunjang oleh kenyataan bahwa anak-anak memperlihatkan suatu keseragaman dalam perkembangan linguistik mereka, yang melalui sejumlah tahap pada usia-usia yang dapat diramalkan dan urutan tempat mereka memperoleh beraneka ragam struktur dan fungsi bahasa sangat tersusun rapi dan tetap. Kapasitas bawaan sejak lahir mempelajari bahasa, tidak terbatas pada suatu bahasa tertentu. Kita semua diperlengkapi dengan kemampuan mempelajari suatu bahasa sejak lahir, tetapi kita masih harus mempelajarinya dari seseorag, yaitu dari anggota masyarakat tempat kita hidup dan manusia menjalani proses dalam pemerolehan bahasanya
Pemerolehan bahasa pada hakikatnya diartikan sebagai proses penguasaan bahasa melalui bawah sadar (tidak disadari) dengan cara berkomunikasi secara langsung dengan orang yang menggunakan bahasa tersebut. Proses ini berlangsung secara alamiah dan tanpa dikondisikan. Di dalam diri manusia proses pematangan otak merupakan suatu proses yang memakan waktu lama. Proses pematangan itu terjadi dalam dua daur yang berbeda pertama agak cepat kemudian lambat. Tarigan (1988: 4) misalnya menyatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai suatu permulaan agak tiba-tiba, mendadak, kecuali anak cacat, hampir setiap anak paling sedikit menguasai satu bahasa. Hal ini disebabkan karena anak memiliki kapasitas bawaan ini sejak lahir untuk menguasai bahasa. Kapasitas bawaan ini tidak terbatas pada suatu bahasa tertentu melainkan untuk penguasaan bahasa pada umumnya, dalam hal ini nilai-nilai sosial budaya yang teranut pada bahasa akan terinternalisasi pada bawah sadar anak.
Terdapat sejumlah ciri pemerolehan bahasa diantaranya :
1. Bahasa yang diperoleh anak berasal dari bahasa yang dipergunakan berkomunikasi secara alamiah dengan pemakai bahasa yang bersangkutan.
2. Pemerolehan bahasa lebih mementingkan isi dari pada bentuk bahasa karena pada prinsipnya anak hanya ingin mengerti dan faham akan maksud pembicaraan.
3. Dalam hal ini anak (pemeroleh bahasa) tidak mendapat penjelasan dari tata bahasa yang bersangkutan secara langsung. Anak hanya dapat merasakan penggunaan bahasanya diterima atau tidak secara sosial.
4. Pelaku bahasa tidak menyadari mengapa dia dapat menggunakan struktur pada saat dia berkomunikasi.

2.2 Ragam Pemerolehan Bahasa
Slobin pernah mengemukakan dengan baik sekali bahwa setiap pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dengan interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kebanyakan pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa dititik beratkan pada salah satu aspek proses pemerolehan. Cairin dalam tarigan (1988: 4) menyatakan bahwa beberapa diantaranya sangat menaruh perhatian pada ciri-ciri sosial pada pengembangan sistem linguistik, yang lain pada hubungan ucapan-ucapan dini dengan perkembangan kognitif sang anak, sedangkan yang lainnya menaruh perhatian besar pada penggunaan sosial bahasa pertama/bahasa dini.
Berbicara mengenai ragam atu jenis pemerolehan bahasa memang sangat menarik, sebab dapat kita tinjau dari berbagai sudut pandang. Berikut dibawah ini adalah beberapa jenis pemerolehan bahasa berdasarkan tinjauan beberapa sudut pandang antara lain:

a) Berdasarkan bentuk
b) Berdasarkan urutan
c) Berdasarkan jumlah
d) Berdasarkan keaslian
Perlu diingat bahwa walaupun terdapat beberapa istilah pemerolehan bahasa dari segi bentuk, urutan, jumlah dan keaslian, tetapi dalam pengertian hampir sama saja. Dan dalam literatur sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.

2.3 Belajar Bahasa
Belajar bahasa merupakan suatu kewajiban bagi semua orang yang ingin “menaklukkan” dunia. Bahasa pada saat ini telah menjadi suatu budaya yang patut dilestarikan keberadaannya. Dengan belajar bahasa berarti juga belajar membudidayakan diri sendiri, mengembangkan diri, dan membentuk diri menjadi manusia yang luhur. Jadi belajar bahasa merupakan upaya memperoleh pengetahuan bahasa yang bisa di permanenkan sebagai akibat dari pengalaman
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar bahasa dipengaruhi oleh faktor eksternal (guru, lingkungan, teman, keluarga, orang tua, masyarakat, dan lain-lain) dan faktor internal (motivasi, minat, bakat, sikap, kecerdasan, dan lain-lain). Berdasarkan faktor eksternal, ada tiga prinsip belajar bahasa, yaitu :
a. Memberikan situasi dan materi belajar sesuai respon yang diharapkan siswa.
b. Ada pengulangan belajar agar sempurna dan tahan lama.
c. Ada penguatan respon belajar siswa.
Berdasarkan faktor internal, belajar bahasa dapat dibantu dengan berbagai media visual, audio, atau audio visual.
Jenis Keterampilan dan Perilaku dalam Belajar Bahasa Secara umum keterampilan belajar bahasa meliputi :


(a) keterampilan menyimak.
(b) keterampilan berbicara
(c) keterampilan membaca
(d) keterampilan menulis.
Menurut Valette dan Disk, keterampilan belajar bahasa diurutkan dari yang paling sederhana kepada yang paling kompleks (luas), yang dibedakan pula atas perilaku internal dan perilaku eksternal, yaitu sebagai berikut :
a. Keterampilan mekanis berupa hapalan atau ingatan (perilaku internal), yaitu menghapal atau mengingat bentuk-bentuk bahasa dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Perilaku eksternalnya (produktif) siswa meniru ajaran atau tulisan.
b. Keterampilan pengenalan (metacognition) berupa mengenal kaidah kebahasaan (perilaku internal) dan perilaku eksternalnya adalah mengingat kaidah bahasa.
c. Keterampilan transfer berupa menggunakan pengetahuan bahasa dalam situasi baru (perilaku internal). Perilaku eksternalnya (produktif) yaitu aplikasi pengetahuan/kaidah bahasa.
d. Keterampilan komunikasi berupa penggunaan pengetahuan/kaidah bahasa dalam berkomunikasi. Perilaku eksternalnya (produktif) adalah ekspresi diri baik lisan atau tulisan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemerolehan bahasa oleh manusia merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dalam prosesnya, pemerolehan bahasa diartikan sebagai proses penguasaan bahasa melalui bawah sadar (tidak disadari) dengan cara berkomunikasi secara langsung dengan orang yang menggunakan bahasa tersebut, proses ini berlangsung secara alamih dan tanpa dikondisikan. Dalam hal ia nilai-nilai sosial budaya yang teranut pada bahasa akan terinternalisasi pada bawah sadar manusia. Berdasarkan keragaman dalam pemerolehannya dapat kita tinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu berdasarkan bentuk, berdasarkan urutan, berdasarkan jumlah, berdasarkan media dan berdasarkan keaslian.

Saran
Dalam mempelajari teori balajar bahasa ini diharapkan para calon guru berkompeten dalam memberikan pembelajaran bahasa kepada peserta didik sesuai dengan kompeten dasar yang dimiliki peserta didik ketika masuk dalam ranah pembelajaran formal.












DAFTAR PUSTAKA

Heryanto. ____. Modul Teori Belajar Bahasa. Jombang: STKIP PGRI Jombang
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa
http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_14042/title_pengertian-belajar-bahasa/

Analisis dalam “Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga”

Abstrak

Kajian ini merupakan kajian awal untuk melihat pemerolehan bahasa anak usia tiga tahun dalam lingkungan keluarga. Subjek kajian ialah seorang anak penutur bahasa Indonesia di kota Jombang. Data yang digunakan untuk analisis kajian ialah data autentik yang diperoleh melalui observasi. Data dianalisis berdasarkan tiga ciri utama yaitu : (1) Analisis berdasarkan panjang kalimat dan (2) Analisis berdasarkan struktur kalimat.

Kata kunci: pemerolehan bahasa, ujaran, struktur kalimat.

Pendahuluan
Latar Belakang
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang cukup menakjubkan bagi para penyelidik dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. Berbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan pantas oleh individu kanak-kanak walaupun umumnya tiada pengajaran formal. “…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of a few years and without the need for formal lessons.” (Language Acquisition: On-line).
Sungguhpun rangsangan bahasa yang diterima oleh kanak-kanak tidak teratur. Namun mereka berupaya memahami sistem-sistem linguistik bahasa pertama sebelum menjangkau usia lima tahun. Fenomena yang kelihatan menakjubkan ini telah berlaku dan terus berlaku dalam kalangan semua masyarakat dan budaya pada setiap masa. Mengikut penyelidik secara empirikal, terdapat dua teori utama yang membincangkan bagaimana manusia memperoleh bahasa. Teori pertama mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara alamiah atau dinuranikan. Teori ini juga dikenali sebagai Hipotesis Nurani dalam linguistik. Teori yang kedua mempertahankan bahwa bahasa diperoleh manusia secara dipelajari. Jurnal Penyelidikan IPBL, Jilid 7, 2006.
Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Lazimnya pemerolehan bahasa pertama dikaitkan dengan perkembangan bahasa kanak-kanak manakala pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada perkembangan bahasa orang dewasa (Language Acquisition: On-line).
Perkembangan bahasa kanak-kanak pula bermaksud pemerolehan bahasa ibu anak-anak berkenaan. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa terdapat dua proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam kalangan anak-kanak yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor nurture dan faktor nature. Namun para pengkaji bahasa dan linguistik tidak menolak kepentingan tentang pengaruh faktor-faktor seperti biologi dan persekitaran.
Kajian-kajian telah dijalankan untuk melihat sama ada manusia memang sudah dilengkapi dengan alat biologi untuk kebolehan berbahasa seperti yang didakwa oleh ahli linguistik Noam Chomsky dan Lenneberg ataupun kebolehan berbahasa ialah hasil dari pada kebolehan kognisi umum dan interaksi manusia dengan sekitarannya. Mengikut Piaget, semua kanak-kanak sejak lahir telah dilengkapi dengan alat nurani yang berbentuk mekanikal umum untuk semua kebolehan manusia termasuklah kebolehan berbahasa. Alat mekanisme kognitif yang bersifat umum digunakan untuk menguasai segala-galanya termasuk bahasa. Bagi Chomsky dan Miller pula, alat yang khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang fungsinya sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenali sebagai “Innate Prospensity for Language”.
Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengecam bunyi-bunyi yang terdapat di sekitarnya. Mengikut Brookes (dlm. Abdullah Yusoff dan Che Rabiah Mohamed, 1995:456), kelahiran atau pemerolehan bahasa dalam bentuk yang paling sederhana bagi setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18 bulan dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang empat tahun. Bagi Mangantar Simanjuntak (1982) pula, pemerolehan bahasa bermaksud penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan umur 2-6 tahun. Hal ini tidak bermakna orang dewasa tidak memperoleh bahasa tetapi kadarnya tidak sehebat anak-anak.
Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya. Beliau seterusnya menegaskan bahwa kajian tentang pemerolehan bahasa sangat penting terutamanya dalam bidang pengajaran bahasa. Pengetahuan yang cukup tentang proses dan hakikat pemerolehan bahasa boleh membantu bahkan menentukan kejayaan dalam bidang pengajaran bahasa.
Sampel kajian ini ialah seorang anak laki-laki yang bertutur dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu anak itu. Anak tersebut tinggal bersama-sama dengan keluarga ayah ibunya sendiri, tetapi kalau siang diasuh neneknya karena ditinggal kerja oleh orang tuanya. Anak tersebut dilahirkan pada 6 Januari 2007. Ini berarti kanak-kanak tersebut berumur tiga tahun tujuh bulan. Nama lengkap anak tersebut ialah Arya Aditya.
Pendekatan interaksi digunakan dalam kajian ini memandangkan subjek kajian yang dipilih selalu berpeluang berinteraksi dengan anggota keluarganya. Bentuk interaksi observasi ini terdiri daripada interaksi yang tidak dirancang. Sebagai langkah untuk menjamin data kajian yang lebih autentik, latar yang tidak dirancang digunakan. Analisis pertuturan Arya dilakukan dalam berbagai situasi dan keadaan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pengalaman Arya juga digunakan dan dianggap sebagai alat kajian ini. Transkripsi pertuturan subjek kajian ini dibuat dalam bentuk dan sistem ejaan fonemik.
Sehingga berdasarkan latar belakang dalam subek kajian “Pemerolehan Bahasa Anak Usia TiIga Tahun Dalam Lingkungan Keluarga” dapat penulis rumuskan antara lain: (1) bagaimana panjang ayat yang digunakan anak tiga tahun dalam bertutur, (2) bagaimana struktur kalimat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur. Penulisan ini berusaha untuk mendapatkan gambaran mengenai: (1) panjang ayat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur (2) penguasan kalimat yang digunakan anak usia tiga tahun dalam bertutur.

PEMBAHASAN
Analisis Berdasarkan Panjang Kalimat
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakn suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari bahasa (Tarigan dalam Prastyaningsih, 2001:9). Lebih jelasnya pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang pertama kali dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan potensi kognitif yang dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara alamiah.
Bahasa yang pertama kali dikenal dan diperoleh anak-anak dalam kehidupannya adalah bahasa Ibu (mother language) atau sering disebut dengan bahasa pertama (first language). Bahasa inilah yang mula-mula dikenal oleh anak kecil dan dipergunakan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai bahasa komunikasi. Pada saat ini, maka telah mempunyaai kemampuan bawaan memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari melalui pembentukan hipotesis karena adanya struktur internal pada mental mereka.
Pada hakekatnya, proses pemerolehan bahasa itu pada setiap anak sama, yaitu melalui pembentukan dan pengujian hipotesis tentang kaidah bahasa. Pembentukan kaidah itu dimungkinkan oleh adanya kemampuan bawaan atau struktur bawaan yang secara mental dimiliki oleh setiap anak. Inilah yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devical/ LAD). Dengan ini setiap anak dapat memperoleh bahasa apa saja serta ditentukan oleh faktor lain yang turut mempengaruhinya. Data kebahasaan yang harus diproses lebih lanjut oleh anak merupakan hal yang penting.
Dalam analisis khususnya panjang ayat anak usia tiga tahun tidak terlepas dari penguasaan dan pemerolehan bahasa. Pemerolehan ini yang terjadi secara alamiah. Berikut perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini :
Budi

Arya
Budi
Arya
Budi
Arya
Bue
Arya :

:
:
:
:
:
:
: Cup..cup diam, gak pareng nangis. Wis besar kok nangis kok nagis, ayo bangun!
Bue….. (sambil menagis)
Ya bentar. Bue isik keluar dulu, entar ya kesini
Ngak, ikut bue (masih menangis)
Ini mau dawet. Mas budi punya dawet
Nngak…. Bue… (Bue datang)
Di tinggal sediluk ae kok nangis. Kok wis tangi to le..
Gendong Bue…(masih menagis)

Dalam wacana di atas, jelas bahwa Arya mengucapkan kata-kata yang terpenggal. Jadi, dapat disimpulkan anak usia tiga tahun sebenarnya sudah bisa berkomunikasi, meskispun secara terbatas. Kamunikasi secara terbatas dalam tutur ini karena keadaan situasi yang sedang dialami Arya. Dalam keadaan menangis Arya secara tidak langsung akan memanggil yang namanya Ibu, karena hanya ibulah (dalam hal ini nenek) orang yang terdekat (yang merawat) dia.
Selain penjelasan di atas pada dasarnya pemerolahan bahasa anak-anak itu melalui beberapa tahap. Anak tidak secara langsung bisa mengucapkan semua fonem dalam tataran bunyi. Misalnya Bue, karena fonem /b/ merupakan bunyi labial yang pertama kali dikuasai anak.
Lain halnya dengan fonem /r/ yang penguasaannya melalui beberapa tahap. Dalam Werdiningsih (2002:6-7) dijelaskan bahwa pemerolehan atau penguasaaan fonem /r/ diperoleh pembelajar bahasa Jawa melalui empat tahap, yaitu (1) tahap zero (kosong) yang tampak pada ucapan /roti/ menjadi /oti/, (2) tahap /r/ berubah menjadi /y/ yang tampak pada ucapan /roti/ menjadi /yoti/, (3) tahap /r/ berubah menjadi /l/ yang tampak pada ucapan /roti/ mekjadi /loti/ dan (4) tahap /r/ terelisasi fonem /r/ yang tamak pada ucapan /roti/ diucapkan /roti/ pula. Perhatikan cuplikan dalam tuturan berikut :
Arya
Tante Sulis
Arya
Tante Sulis :
:
:
: Nda Yis loti
Jajan terus, tadikan wis dibelikan es krim sama mama
Alya maunya loti
Nanti es krimya Nda Yis makan lo. Ayo di makan dulu es krimnya

Dalam cuplikan tuturan di atas jelas sebagai bukti bahwa penguasaan fonem /r/ mengalami tahapan-tahapa tertentu. Arya dalam mengucapkan fonem /r/, roti dan Arya diucapkan loti dan Alya. Sehingga dalam hal ini arya dapat dikatakan mengalami tahap III dalam penguasaan fonem /r/, yakni fonem /r/ berupah menjadi fonem /l/. Selain itu Arya belum mampu sepenuhnya menguasai fonem /s/, Nda (maksudnya Bunda atau Tante) Sulis diucapkan Nda Yis sehingaa fonem /s/ berubah menjadi fonem /y/.

Analisis Berdasarkan Struktur Kalimat
Pemerolehan bahasa pertama, anak juga sudah mampu menyusun kalimat meskipun masih sangat sedarhana. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (Busri,2002:37-38). Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan huruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya atau tanda seru dan sementara itu disertai pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik koma, titik dua dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu. Tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!), sepadan dengan intonasi selesai, sedangkan tanda baca sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan diwujudkan sebagai ruang kosong setelah tanda titik, tanda tanya dan tanda perintah atau ruang kosong sebelum huruf kapital permulaan. Alunan titi nada pada kebanyakan hal tidak ada pedananya dalam bentuk tertulis.
Dipandang dari sudut logika, kalimat didefinisikan sebagai ujaran yang didefinisikan pikiran lengkap yang tersusun dari subjek dan predikat. Pengertian bahwa subjek adalah tentang apa sesuatu dikatakan dan predikat adalah apa yang dikatakan tentang subjek, yang perlu diperhatikan ialah bahwa istilah subjek dan predikat itu mengacu kepada fungsi, tidak kepada jenis kata. Perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini :
Arya
Bue
Arya
Bue
Arya
Bue :
:
:
:
:
: Bue lapar.
Iyo le, iki sek ngoreng telur.
Cepat….
Ito. Sabar engko makane di kasih kecap
Asyik. Bue makane di luar ya.
Iyo, sek to le.

Cuplikan dalam tuturan ini dapat sebagai bukti bahwa anak umur tiga tahun, sudah bisa menggunakan kalimat. Kalimat-kalimat yang diucapkan biasanya masih sangat sederhana tetapi sudah dapat berdidiri sebagai kalimat. Misalnya Bue lapar, penggalan tuturan itu sudah dapat berdiri sendiri sebagai kalimat karena secara fungsi kalimat tersusun atas Subjek (S) dan Predikat (P). Bue berkedudukan sebagi S dan lapar berkedudukan sebagai (P). Sama halnya dengan Bue makane diluar ya. Bue berkedudukan sebagai S, makane (yang dalam bahasa Indonesia/BI makannya) berkedudukan sebagai P dan di luar ya berkedudukan sebagai keterangan (ket).
Secara lisan kata-kata yang diucapkan Arya sudah dapat dikatakan sebagai kalimat, karena kalimat dalam bahasa lisan diawali kesenyapan disela jeda dan diakhiri kesenyapan pula. Meskipun hanya satu kata cepat secara lisan juga sudah dikatakan kalimat. Cepat dalam konteks ini diucapkan dengan titi nada tinggi atau dikenal dengan fonem suprasegmental sehingga secara lisan sudah dapat dikatakan sebagai kalimat.












PENUTUP

Bagian ini merupakan bagian penutup dari tulisan ini. Pada bagian ini akan disampaikan kesimpulan dan beberapa implikasi kajian yang perlu mendapatkan perhatian dan tindak lanjut di masa mendatang, khususnya untuk kajian berikutnnya. Berikut kesimpulan dan implikasi-implikasi kajian selengkapnya.

Kesimpulan
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penulisan yang disampaikan di bagian pendahuluan, maka sebagai kesimpulan dapatlah disampaikan hal-hal berikut :
1. Berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal. Serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu.
2. Anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas.
3. Anak umur tiga tahun harus selalu didampingi orang tua untuk mendapatkan pemerolehan bahasa yang baik agar di masa berikutnya anak bisa mengucapkan struktur kalimat yang baik.
4. Orang tua harus sering mendampingi anaknya dalam cara pengucapan kalimat biar nantinya cara pengucapannya tidak terus-terusan terpenggal.

Implikasi Kajian
Tidak disangkal bahwa kajian ini masih jauh bahkan teramat jauh dari sempurna. Ruang lingkup pembicaraan yang semula sengaja digunakan untuk membatasi kajian ini bukan tidak mungkin justru mengkerdilkan jangkauan pembahasan. Analisis dalam “Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Keluarga” sebenarnya hanya bagian yang teramat kecil dari bidang ilmu psikolinguistik tentu bagi rekan-rekan mahasiswa lain ditantang menindaklanjuti kajian ini.









DAFTAR PUSTAKA

Prastyaningsih, Luluk Sri Agus. 2001. Teori Belajar Bahasa. Malang.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Malang.